Jeung Inggried Dwiwedhaswary dari Harian Kompas membuat tulisan tentang seseorang yang tak asing lagi buat aku Bukan tentang pejabat tinggi negara dan bukan pula salah satu Anggota Dewan yang biasa baku-sapa dalam keseharian kerjaanku.
Tapi tentang si Mbak Wasniah, yang kaya’nya kalau loe kerja di Komplek Parlemen Senayan … gak bakalan deh Luput melihat dia lagi “ngejogrok” dengan dagangannya di pojokan antara Gedung Setjen DPD dan Gedung Setjen DPR… Frekuensi kita beli dagangan dia-pun hanya kadang-kadang, karena kebetulan gw gak suka makanan manisss. Tapi ‘berkat’ membaca tulisan dibawah kaya’nya gw berubah pikiran nehh & pengennya beli makanan dia tiap hari buat bantu…
Kami yang biasanya melewati dia sambil sedikit melempar senyum mau gak mau jadi menengok sepenuhnya gara-gara membaca tulisan yg meliput aktivitas ‘beLiau’ tersebut… Masuk Koran nihh yeee si mbak’e !!
Makanan Rakyat di Gedung Wakil Rakyat
Di Pasar – pasar tradisional Jakarta memang masih sesekali ditemui makanan tradisional khas rakyat, seperti sawut, tiwul, ataupun cenil. Begitu pun di sejumlah rumah makan yang menyediakan menu makanan Jawa atau food cort-nya pusat belanja.
Akan tetapi, jarang lho ditemukan makanan rakyat itu dijual oleh pedagang yang mangkal di tempat-tempat umum. Nah, di antara yang sedikit itu, adalah Wasniah (29), pedagang makanan rakyat yang mangkal di trotoar jalan masuk halaman Sekretariat Jenderal DPR RI, tepatnya di seberang kantin DPR.
Sudah dua tahun Wasniah setiap hari mangkal di Gedung Dewan. Bermodal sebuah keranjang plastik biru dan hijau yang menjadi tempat dagangannya. Satu menjadi wadah makanan, satu lagi menjadi tempat gula merah cair dan puluhan box plastik berikut biting (potongan lidi untuk menusuk makanan).
Warna-warni makanan yang dijual Wasniah. Ada ketan hitam, sawut (makanan dari singkong yang diparut), tiwul, cenil merah putih, getuk, dan lupis. Aneka makanan itu ia kemas apik dalam sebuah box plastik transparan.
Dua tahun sudah, Wasniah mengadu nasib di gedung tempat para Anggota Dewan bertugas. “Saya belajar dari ibu di kampung, baru dua tahun dagang ini di DPR. Lumayan juga, biarpun pada berdasi gitu, masih doyan makanan desa kaya gini,” ujar Wasniah polos, Senin (10/3).
Wanita asal Indramayu ini memilih berdagang di DPR, karena berpikiran bahwa para anggota dewan termasuk golongan mampu. Mengeluarkan uang Rp 2.500 untuk sebungkus aneka makanan itu, pasti tidak menyulitkan. Itu kata Wasniah.
“Sehari saya bisa bawa pulang Rp 150.000, modal Rp 90.000. Lumayanlah, buat makan dan nabung,” tutur ibu dua anak ini. Suami Wasniah bekerja sebagai supir taksi, yang penghasilannya tak menentu setiap harinya. Maka, dengan berjualan makanan tradisional itu, Wasniah membantu keuangan keluarga dalam perantauannya di Jakarta.
Setiap hari, pukul 02.30 Wasniah telah mulai meramu makanan-makanan itu. Pukul 07.00 ia sudah standby di DPR. Jam 11.00, dipastikan barang dagangannya sudah ludes terjual. “Biasanya saya masak tiwul dua kilo, sawut dua kilo, ketan item 2,5 liter, lupis seliter. Habis semua kok setiap hari. Alhamdulillah,” kata perantau asal Indramayu, Jawa Barat ini. 🙂
Lokasi berdagang Wasniah memang cukup strategis. Di jalur lalu lintas utama orang yang akan memasuki gedung dewan. Apalagi, kehadirannya memberi alternatif lain. Makanan rakyat, dengan harga yang lebih merakyat jika dibandingkan harga makanan di kantin yang ada di Gedung Wakil Rakyat itu….